Konon, menurut penuturan dari orang
tua-tua baik di Bandar Sepuluh terutama di nagari Kambang
maupun di Muara Labuh (Solok Selatan),
nama nagari Kambang berasal dari kata 'kambanglah' (kembanglah) yaitu ucapan
masyarakat awal nagari Kambang yang merupakan perantau dari Sungai Pagu Muara
Labuh agar segera mengembangkan (membuka kuncup) payung panji kerajaan Sungai Pagu yang sebelumnya cukup
lama vakum akibat tidak ada kata sepakat dalam menentukan siapa yang berhak
menjadi raja di kerajaan tersebut. Akhirnya dari keturunan raja yang sudah
menyebar ke nagari Kambang-lah calon raja itu ada.
Nagari Kambang merupakan gerbang
bagi penyebaran masyarakat perantau Sungai Pagu Muara Labuh ke daerah-daerah Bandar
Sepuluh yang lainnya baik ke utara maupun ke selatan.
Bila dilihat dari sejarah (Tambo)
nagari-nagari di Bandar Sepuluh, nenek moyang Bandar Sepuluh datang dalam dua
rombongan besar dari Alam Surambi Sungai Pagu, pertama pada
tahun 1490 dan kedua pada tahun 1511.
Secara geneologis, penduduk yang
sekarang ini mendiami Nagari Punggasan khususnya dan daerah Kab. Pesisir
Selatan bagian selatan kecuali Indopuro umumnya berasal dari Alam Surambi Sungai
Pagu di Kab. Solok.
Arus perpindahan penduduk tersebut dilakukan menembus bukit barisan dan menurun
di hamparan dataran luas yang berbatas dengan pantai barat Sumatera Barat
bagian selatan yang dulunya dikenal dengan sebutan Pasisia Banda Sapuluah
(Pesisir Bandar Sepuluh).
Menurut cerita yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat, bahwa yang menemukan dan mempelopori perpindahan
penduduk dari Alam Surambi Sungai Pagu ke Nagari Punggasan adalah “Inyiak
Dubalang Pak Labah”. Beliau adalah seorang Dubalang/Keamanan dalam salah satu
suku di Alam Surambi Sungai Pagu yang suka berpetualang mencari daerah-daerah
baru.
Berdasarkan kesepakatan rapat Ninik
Mamak Alam Surambi Sungai Pagu, dikirimlah rombongan untuk meninjau wilayah
temuan Dubalang Pak Labah. Sesampai di bukit Sikai perjalanan tim peninjau
diteruskan kearah hilir melalui bukit Kayu Arang, tempat yang ditandai oleh
Dubalang Pak Labah dengan membakar sebatang kayu. Ketika malam datang,
rombongan beristirahat di bawah sebatang kayu lagan kecil dan daerah tempat
beristirahat tersebut kemudian diberi nama “Lagan Ketek” . Kesokan harinya
perjalanan dilanjutkan dan bertemu dengan sebatang kayu lagan yang besar.
Daerah tersebut kemudian dinamakan “Lagan Gadang”. Rombongan meneruskan
perjalanan sampai kesebuah padang yang banyak ditumbuhi oleh kayu dikek. Dari
situ mereka melihat juga sebatang pohon embacang, sehingga kedua tempat
tersebut dinamai “Kampung Padang Dikek” dan “Kampung Ambacang”. Perpindahan
penduduk dari Alam Surambi Sungai Pagu, terbagi atas dua rombongan besar,
dimana rombongan pertama berangkat lebih dulu.
Perjalanan
Rombongan Pertama
Dari Alam Surambi Sungai Pagu,
rombongan pertama kali sampai didaerah “Bukit Sikai”. Karena daerah tersebut
sangat jauh dari sungai, rombongan pertama untuk beberapa hari kemudian turun
kedaerah “Kampung Akat”. Atas keepakatan bersama, kemudian perjalanan
dilanjutkan dengan menyusuri arah peninjauan dahulu yaitu kembali ke bukit
Sikai melalui Bukit kayu Arang lalu turun ke Lagan Ketek dan Lagan Gadang.
Didua daerah itulah pertama kali taratak dipancang.
Karena berbagai kesulitan berupa
gangguan binatang gajah,
rombongan kembali ke Bukit Sikai dan turun kebalik bukit tersebut dan sampai di
“Bukit Runcing”. Meskipun daerah Bukit Runcing cuma cocok untuk peladangan,
rombongan pertama tetap bertahan hingga beberapa kali masa tanam dan sampai
kemudian didaerah itu penduduk membuat “pandam pekuburan pertama”. Didaerah
Bukit Runcing itu pula terdapat satu lubuk/telaga yang dinamakan “Lubuk Niat”.
Karena berbagai kesulitan, maka
kemudian rombongan penduduk kembali menuju Kampung Akat dan setelah beberapa
waktu kemudian bergerak lagi menuju arah “Talata”, melalui “Bukit Karang
Putih”. Dari Bukit Karang Putih, perjalanan diteruskan melalui “Gunung Merantih
Terpanggang”. Di Talata, penduduk sempat membuat mesjid pertama dan terdapat
pula pandam pekuburan. Sehingga sampai sekarang terkenal julukan “Lubuk Mesjid
di Talata”. Sebagian penduduk ada yang meneruskan perjalanan menuju arah hulu
“Air haji” melalui “Bukit Sambung” dan berhenti disebuah gunung yang bernama
“Gunung Sari Baganti” dan di gunung tersebut ketua rombongan meninggal dunia.
Penduduk yang bertahan di Talata
dulu, karena berbagai gangguan kemudian mengiliri sungai dan bermukim didaerah
“Rumah nan Ampek”. Selanjutnya perkampungan diperluas sampai ke “Kampung
Jelamu, Sawah Lurahan, Kampung Talawi dan Kampung Solok”. Terakhir diketahui,
rombongan penduduk yang sampai di Rumah nan Ampek terdiri dari Suku Chaniago,
Panai,
Malayu
dan Kampai.
Itulah sebabnya, daerah tersebut dikenal dengan Rumah Nan Ampek. Pimpinan
rombongan ini dikenal dengan “Ninik Mamak Nan Barampek Jalan Ulu, nan manampuah
Bukit Barisan dan Pematang Nan Panjang”. Setelah beberapa waktu bermukim karena
berbagai gangguan, rombongan Rumah Nan Ampek kembali lagi ke Kampung Akat.
Perpindahan rombongan pertama ini
berakhir di Tandikek Ambacang setelah melaui jalan lama yang melewati Lagan
Ketek dan Lagan Gadang. Ditempat tersebut penduduk menetap dan diperkirakan
terjadi pada akhir abad XV (± tahun 1490).
Perjalanan
Rombongan Kedua
Penduduk yang pindah dari alam
surambi Sungai Pagu dan tergabung dalam rombongan kedua dimaksudkan untuk
mencari rombongan pertama yang dulu pernah pindah. Rombongan kedua dipecah
kedalam dua kelompok yaitu:
- Kelompok pertama terdiri dari suku Malayu, Chaniago dan Sikumbang melalui Bukit barisan dan tembus di hulu Nagari Surantih (Langgai), Kecamatan Sutera, Pesisir Selatan.
- Kelompok kedua terdiri dari Suku Jambak melalui Bukit Barisan dan tembus di hulu nagari Kambang, kecamatan Lengayang, Pesisir Selatan.
Pimpinan kedua kelompok ini dikenal
dengan “Ninik Mamak Nan Batujuah” karena dari suku Malayu terdiri dari empat
orang ninik mamak dan dari Lareh Nan Tigo ( Suku Chaniago, Sikumbang dan
Jambak).
Setelah sampai didua daerah di atas,
kedua kelompok yang tergabung dalam rombongan kedua tidaklah menetap, karena
tujuannya adalah mencari rombongan pertama dulu. Setelah beberapa lama mencari,
tetapi rombongan pertama tidak juga bertemu maka kedua kelompok di atas
kemudian bergabung dan menyisiri pantai kearah selatan.
Rombongan kedua pertama kali
bermukim di daerah “Katapiang Gadang/Pandan Banyak” yaitu antara muara Sumedang
dengan Muara Punggasan. Pada tahap selanjutnya penduduk makin bergeser
keselatan sampai didaerah “Damar Condong/Durian Condong” yaitu kira-kira batas
antara muara Air Haji dengan Muara Punggasan dan akhirnya setelah sekian lama
bermukim, penduduk gelombang kedua berbalik menuju utara dan menetap di Muara
Punggasan. Disanalah taratak dipancang, membuat labuah dan tapian mandi. Dimana
yang berbakat tani kemudian menjadi petani dan yang berbakat nelayan kemudian
menjadi nelayan.
Beberapa waktu kemudian diketahui
bahwa penduduk yang tergabung dalam gelombang pertama perpindahan dari Alam
Surambi Sungai Pagu ternyata bermukim di hulu sungai. Akhirnya dalam pertemuan
antara penduduk yang tergabung gelombang pertama dengan penduduk yang tergabung
dalam gelombang kedua, lahir kesepakatan bahwa di antara yang ber-empat
rombongan jalan diulu dengan yang bertujuh dari hilir membuat suatu pemukiman
bersama yang disebut “Padang Sabaleh”. Seiring dengan itu dilakukanlah
pembagian wilayah kekuasaan di antara mereka yaitu:
- Batas yang dapat dilimbur pasang ke hilir adalah kekuasaan orang dihilir (gelombang ke dua) seperti daerah Pasir Nan Panjang, Babang Pamukatan, Nan Babungo Karang, Nan Ba Payuang Waru.
- Batas yang dapat dilimbur pasang ke arah Mudik adalah kekuasaan orang yang dihulu (gelombang pertama) seperti daerah Kayu Nan Babniah, Nan Gadang Kalaso Nan Runciang Tanduak, Buah Manih dan Buah Masam.
Hasil pertemuan yang melahirkan
kesepakatan Padang Sabaleh inilah yang dipercaya sebagai awal berdirinya Nagari
punggasan, ± 1511
M.
Karena pertambahan penduduk maka
dilakukanlah perluasan pemukiman dan wilayah pertanian. Rombongan ninik mamak
Nan Barampek Jalan di Ulu memperluas areal kearah hulu mengikuti rintisan
pertama seperti Rumah Nan Ampek, Sawah Lurahan, Jelamu, Solok dan Kampung
Talawi. Suku Malayu mengambil tempat di kampung Limau Antu dan wilayah
sekitarnya. Dihilir daerah suku Malayu ditempati oleh suku Kampai. Kemudian karena
perkembangan dari kampung Limau Antu, suku Malayu melewati perkampungan suku
Jambak menuju daerah Gunung Linggo dan sekitarnya. Penyebaran suku Panai tidak
langsung kehilir, tetapi tiap areal kosong yang tidak ada pemiliknya dikuasai
oleh suku Panai. Ketiga suku ini, kedepan mempunyai hubungan saling
semendo-menyemendo. Khusus penyebaran mengenai penduduk suku Chaniago, karena
anggotanya sedikit, perluasan hanya dilakukan pada bagian mudik yaitu di Taruko
Baru dan Sawah Ladang saja.
Suku Malayu, Kampai dan Panai
kemudian mendirikan Mesjid di kampung Kampai DT. Rajo Bagindo. Kemudian disebut
dengan kampuang Mesjid Lama. Beberapa waktu kemudian mesjid diganti dengan
mesjid baru didaerah Koto Langang, kampung DT. Rajo Marah. Kemudian dipindahkan
lagi kedaerah Padang Kayu Dadiah sehingga mesjid yang berpindah-pindah tersebut
dijuluki oleh mesjid bararak.
Sumber : http://id.wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar